Sekapur Sirih
Ciri khas masyarakat adat Baduy (Urang Kanekes) yang tinggal
di pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak,
Banten ini adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun
(nenek moyang) mereka. Bagaimana mereka berladang, memperlakukan alam,
dan memperlakukan sesama telah dikukuhkan sebagai sebuah keyakinan yang
mencerminkan nilai tradisi dan budaya masyarakatnya.
Salah satu tradisi yang dinilai masih bertahan adalah cara mereka
berbusana dan aktivitas membuat kain dengan cara ditenun. Kain tenun,
bagi masyarakat adat Baduy, selain berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
sandang, juga memiliki fungsi sebagai identitas. Khusunya terhadap
nilai-nilai adat yang juga melambangkan eksistensi mereka. Perbedaan
antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari warna dan tenunan
yang mereka kenakan.
Kegiatan menenun juga memiliki makna ketaatan bagi para wanita Baduy.
Pada perkembangannya, tenun baduy, khusunya tenun selendang yang mereka
sebut tenun suat, hadir sebagai kreasi tenunan baru yang lambat
laun dikembangkan oleh mereka sendiri dan mulai dikenal serta diminati
oleh beberapa kalangan. Tenunan suat ini tidak memiliki makna khusus yang mendasari pembuatannya karena tenun tersebut lebih ditunjukan untuk kareuseupan (berkesenian) dan juga untuk kepentingan ekonomi mereka.
Tulisan ini mencoba untuk mengangkat perkembangan tenun Baduy sebagai Identitas masayarakat adat Baduy (Urang Kanekes) di masa lampau hingga keberadaannnya sekarang yang masih berusaha tetap dijaga.
I. Pendahuluan.
Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang berlimpah jika
dibandingkan dengan bangsa manapun di dunia ini. Bahkan, setiap suku
di Indonesia mempunyai ciri busana khas sendiri. Selain batik yang telah
dikenal secara luas, warisan budaya bangsa Indonesia yang menjadi ciri
berbusana hadir pada aneka ragam jenis kain tenun yang tersebar di
beberapa daerah di Indonesia, seperti; Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi, Sumatera, juga di beberapa daerah di Bali serta Jawa.
Masing-masing daerah memiliki corak, warna, dan gaya tenunan
tersendiri. Perbedaan ini terjadi karena setiap daerah memiliki
perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain tenun, seperti;
letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup
masyarakat serta lingkungan alam sebagai tempat mereka tinggal.
Salah satu tenunan yang terdapat di Pulau Jawa adalah tenunan Baduy.
Meskipun tidak begitu dikenal seperti kain songket Palembang atau batik
Pesisiran. Tenun Masyarakat Adat Baduy ini memiliki kekhasan tersendiri
baik dari segi bahan maupun ragam hias yang mendasari pembuatannya.
Tenun Baduy juga dipercaya mengandung fungsi dan makna-makna simbolis
yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan Urang Kanekes.
Masyarakat adat Baduy merupakan komunitas adat yang bermukim di
lereng Pegunungan Kendeng yang secara administratif termasuk dalam
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Keajegan Urang
Kanekes ini dalam mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka dari
dulu hingga sekarang dinilai tidak mengalami perubahan. Serta memiliki
kecenderungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Garna (1996:251),
bahwasannya makin tinggi arus pengaruh budaya luar makin teguhlah sistem
sosial Masyarakat adat Baduy.
Seni tenun mereka tetap lestari dan terus diwariskan dari generasi ke
generasi untuk menopang kemandirian mereka dalam memenuhi kebutuhan
berbusana agar keberlangsungan dan eksistensi mereka tidak bergantung
kepada pihak lain.
II. Tenun Baduy Sebagai Identitas Masyarakat Adat Baduy
Seperti yang diungkapkan Kayam (1981:60), bahwa dalam batasan
geografis khususnya di Asia Tenggara, kesenian telah tumbuh sebagai
bagian dari kebudayaan masyarakatnya. Dengan demikian, kesenian
mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas. Pertama, memiliki jangkauan yang terbatas pada kebudayaan yang menunjangnya. Kedua, merupakan pencerminan dari satu budaya yang berkembang. Ketiga, merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi. Keempat, merupakan kreativitas individu, tetapi tercipta secara bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya.
Keunggulan cita rasa dari pembuatan kain yang dimiliki Orang Kanekes
berkembang dalam berbagai wujud, sifat, bentuk, kegunaan, ragam hias,
serta menjadi jati diri dan ciri khas masyarakat adat tersebut. Bahan
kain untuk memenuhi kebutuhan sandang telah dibuat sendiri dari potensi
alam yang ada dan dibuat dengan menggunakan alat tenun yang mereka buat
sendiri. Betapapun sederhananya bahan, bentuk, pola hias, dan teknik
pembuatannya, tenun Baduy merupakan benda budaya yang didasari oleh
fungsi, nilai-nilai adat istiadat, sejarah, dan kekayaan alam setempat
yang merupakan cerminan dari budaya mereka.
Keterampilan membuat seni tenun pada masyarakat adat Baduy (Urang
Kanekes) bisa dikatakan tidak terlepas dari latar belakang yang
dipengaruhi pelbagai unsur sejarah. Diperkirakan keahlian ini telah
dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada masa perundagian atau perunggu
mulai abad ke-8 sampai abad ke-2 SM.
Sumber daya alam kapas merupakan salah satu bahan dalam membuat kain
tenun. Kapas ini diproses dengan pemintalan sederhana, kemudian ditenun
dengan alat dari kayu dan bambu yang ada di sekitar mereka. Pengetahuan
tentang kapas sebagai bahan benang diduga telah dimiliki oleh Orang
Kanekes sejak lama. Pada masa Kerajaan Pajajaran, Urang Kanekes
setiap tahun sudah biasa memberikan persembahan 10 pikul kapas kepada
kerajaan dan tradisi pembuatan kain dari bahan kapas dinyatakan sudah
ada sejak masa tersebut (Iskandar, 2005:236). Ada yang beranggapan bahwa
busana Urang Kanekes saat ini merupakan busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Senada dengan hal tersebut, Anisjatisunda dalam Nanang (2009),
memberikan pandangan lebih luas lagi tentang keberadaan kain tenun
Baduy yang menurutnya sudah ada sejak masyarakat itu menetap di balik
Gunung Kendeng (wilayah Kanekes sekarang). Hal ini kemudian dipertegas
oleh pendapat Blume dalam Garna (1993) yang menyatakan keberadaan kain
tenun di satu wilayah etnis sangat berkaitan dengan sejarah masyarakat
itu sendiri.
Kain tenun sebagai fungsi utamanya untuk dijadikan pakaian, merupakan satu dari kebutuhan hidup bagi Urang
Kanekes di samping makanan dan rumah untuk tempat tinggal. Tenun Baduy
tampak sederhana jika dibanding dengan tenunan dari daerah lain. Namun,
reka hias dan kerajinan tangan tenun Urang Kanekes ini
merupakan karya cipta yang tinggi. Selain karena merupakan gabungan dari
ungkapan estetis dan alam, reka hias itu juga mewakili sikap hidup
mereka yang menyimpan ribuan tabu dan alam kosmos masyarakat adat Baduy.
Dalam setiap kegiatan ritual keluarga atau agama, sepotong kain tenun
hampir selalu menjadi bagian yang amat penting dalam kehidupan mereka.
Keragaman dan keunikan kain tenun Baduy merupakan cerminan dari
filosofi kehidupan masyarakat adat Baduy. Serta merupakan kreasi dari
bentuk-bentuk simbolis yang tertuang dalam adat hingga keseharian
mereka. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan ini, oleh Kartiwa
(2007:9) dikatakan bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu bentuk
ekspresi pengakuan terhadap keberadaan, keagungan, dan kebesaran Tuhan,
Sang Maha Pencipta kehidupan semua makhluk di dunia.
Kain tenun dalam Masyarakat adat Baduy, tidak hanya berfungsi sekedar
penutup tubuh yang melindungi pemakainya dari kondisi cuaca atau iklim.
Bukan pula sekedar benda fisik yang dapat digunakan untuk menggendong
bayi, atau fungsi-fungsi fisik lainnya. Kain tenun juga memiliki arti
lain daripada sekedar kebutuhan fungsional. Bentuk dan corak keindahan
dalam selembar kain, tidak semata-mata bertalian dengan pemenuhan
keindahan saja. Melainkan terkait secara menyeluruh dengan kebudayaan
dan ciri khas pemangkunya.
Sehingga keindahannya tidak dipandang sebagai satu-satunya dari
dampak keberadaan seni tenun pada masyarakat adat Baduy. Selain itu,
seni tenun Baduy juga mencerminkan keajegan Urang Kanekes dalam
mempertahankan kepercayaan, tradisi, serta memiliki kecenderungan
sebagaimana diungkapkan oleh Garna (1996:251), bahwa makin tinggi arus
pengaruh budaya luar, makin kuat sistem sosial mereka. Hal itu juga
tercermin pada tradisi mereka dalam membuat sehelai kain dengan cara
bertenun.
Kegiatan menenun dalam masyarakat adat Baduy juga merupakan salah satu perwujudan dari konsep amalan tapa yang
dilakukan perempuan Baduy. Karena membuat kain tenun merupakan
pemenuhan kebutuhan sandang. Tidak ada hari tanpa bekerja, baik pria
maupun wanita, sesuai dengan posisi dan porsinya dalam kehidupan. Itulah
makna dari tapa bagi masyarakat adat Baduy. Serta sebagian besar amalan tapa Urang Kanekes memang berhubungan dengan padi dan kegiatan perladangan. (wawancara Jaro Dainah, 11 April 2010).
Urang Kanekes percaya bahwa mereka harus tetap ada dalam
kesahajaan dan kesederhanaan. Karena menurut kepercayaan mereka,
meninggalkan kesederhanaan berarti membatalkan tapa di dunia. Tapa dalam pengertiannya Urang Kanekes, seperti yang diungkapkan Permana (1996:40-41), bukan melakukan samadi (berdiam diri di tempat sunyi), melainkan melaksanakan semua aturan yang sebelumnya telah digariskan oleh karuhun (nenek moyang) mereka.
Orientasi masyarakat adat Baduy dalam tinggkatan status sosial juga
terlihat pada kepatuhan meraka terhadap pakaian yang mereka kenakan.
Masyarakat adat Baduy dipisahkan oleh garis sosial yang membentuk status
dan tampak memperlihatkan dua subkultur berbeda. Masyarakat Baduy
memisahkan status sosial berdasarkan wilayah pemukiman mereka ke dalam
tiga bagian; Tangtu, Panamping, dan Dangka. Tangtu merujuk pada masyarakat adat Baduy Dalam, sedangkan Panamping dan Dangka merujuk pada masyarakat adat Baduy Luar.
Pada gilirannya, pelapisan sosial ini pun memengaruhi tata cara
mereka berpakaian dan menenun. Warna putih digunakan pada bahan kain
tenun dan pakaian yang dikenakan oleh Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Luar
diberi identitas yang berbeda, yaitu berpakaian hitam. Selain itu,
mereka yang disebut Baduy Dalam menenun kain tenun terbatas pada kain
yang berwarna putih atau hitam saja. Sedangkan pada Baduy Luar mereka
telah diperbolehkan menenun dengan variasi warna yang lebih beragam.
Pembagian Wilayah Baduy | Diolah dari: iai-banten.org
Baduy Dalam adalah masyarakat Baduy
yang merepresentasikan Masyarakat Adat Baduy pada masa lalu. Sedangkan
Baduy Luar adalah bagian dari masayarakat adat Baduy yang dipersiapkan
sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan sekaligus
silaturahmi yang intensif dengan pihak luar wilayah adat Baduy (Kurnia dan Sihabudin, 2010:27).
Akan tetapi, dalam kaitan ini,
Garna (1988), melihat bahwa antara Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah
seperti rangka dengan isi. Baduy Dalam merupakan nenek moyang atau karuhun, dengan
istilah lain dapat dikatakan sebagai pusat dari seluruh masayarakat
adat Baduy. Sementara Baduy Luar, merupakan isi dari seluruh
keturunannya. Baduy Luar jika melihat pada adat di masyarakat adat
Baduy, merupakan masyarakat yang telah diberikan kebijakan berupa
kelonggaran pada peraturan adat dalam pelaksanaan kegiatan hidup
sehari-hari.
Kebijakan dan kelonggaran pada
masayarakat Baduy Luar dapat dilihat dalam berbagai segi kehidupannya,
seperti; penggunaan transportasi di luar kawasan Baduy, pembukaan lahan
di luar kawasan hak ulayat
(adat) Baduy, penggunaan alat perlengkapan hidup khususnya dalam bidang
kesehatan dan rumah tangga, hingga menenun dengan variasi warna dan
jenis yang tidak terbatas pada hitam dan putih saja.
Kelonggaran-kelonggaran tersebut pada dasarnya masih tidak diperbolehkan
untuk masayarakat Baduy Dalam.
Sementara itu dalam kaitan dengan seni tenun, warna putih yang
digunakan pada bahan kain tenun Baduy tidak diwarnai atau tetap
menggunakan warna asli kapas yang putih. Dalam kepercayaan Urang Kanekes warna putih bermakna terang, bersih, atau sebagai Hyang yang
tidak memiliki wujud. Hal ini berkaitan dengan makna kesucian, terletak
pada tingkat atas dari sistem nilai kepercayaan yang mereka anut.
Sedangkan Warna hitam pada pakaian Baduy Luar, menurut penelaahan
Jatisunda (2008), mengandung makna gelap atau malam. Gelap atau hitam
dalam konteks budaya Baduy akan menjadi pelindung di balik yang putih
atau terang.
Kreativitas Urang Kanekes dalam membuat kain tenun terbentuk
melalui suatu perjalanan panjang. Selama kurun waktu yang lama, melalui
pelbagai kegiatan tradisi dan budaya yang mendasarinya, masyarakat adat
Baduy menciptakan pelbagai teknik pembuatan kain tenun dan ragam
hiasnya. Apabila dilihat dari latar belakang kehidupan Urang Kanekes,
seni tenun Baduy telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang bersatu
dengan kegiatan sehari-hari mereka. Menenun mempunyai nilai estetika.
Motif-motif yang tergambar pada kain tenun tidak sekadar mengikuti
perkembangan pasar, tetapi sebagian besar masih terikat oleh nilai
tradisional yang dikembangkan.
Ami, Belajar Menenun | wacananusantara
Seni tenun Baduy dalam keseluruhan penggarapan seni di Desa Kanekes,
menjadi satu dengan unsur-unsur seperti lingkungan hidup, persediaan
bahan mentah, kesempatan pemasaran, kreativitas, dan latar budaya etnik
yang mendasarinya hingga dapat terus lestari hingga kini. Tradisi
pengajaran pengetahuan menenun yang dilakukan oleh setiap wanita Baduy
yang terampil menenun kepada anak atau saudara perempuannya yang
memiliki minat untuk menenun, menjadi faktor utama lestarinya seni tenun
di Desa Kanekes.
Seni tenun baduy dalam lingkup kehidupan masyarakat adat Baduy
menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Kain telah
terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakatnya. Sejak
lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal dunia ‘dibungkus’
dengan kain tenun.
Tenun sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan
keluarga. Aktivitas menenun sepintas memang tampak sebagai kegiatan
sambilan yang seolah-olah hanya merupakan aktivitas pengisi waktu luang
bagi kaum perempuan Baduy. Namun, apabila ditelusuri secara mendetail
dan mendalam, ternyata aktivitas menenun mengandung sejumlah nilai.
Menenun mempunyai nilai kedisiplinan. Kepada setiap anak perempuan yang
lahir di Baduy, sejak kecil, mereka sudah ditanamkan kedisiplinan yang
tinggi dengan cara mempelajari aturan adat dan nilai-nilai Masyarakat
Adat Baduy. Salah satunya berhubungan dengan aktivitas menenun.
Seni tenun sebagai seni kriya kewanitaan, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1985:16), bahwa kegiatan menenun
merupakan warisan keterampilan turun temurun serta garis penghubung
antar generasi yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan di
beberapa tempat terutama di daerah pedesaan. Bahkan di beberapa daerah,
keterampilan menenun adalah suatu kewajiban adat istiadat yang
menunjukkan salah suatu ukuran feminin bagi seorang wanita.
Kegiatan menenun pada masyarakat Kanekes pun dipercaya merupakan
wujud dari ketaatan yang dilakukan oleh perempuan Baduy terhadap aturan
adat yang mereka junjung. Orang Baduy yang selalu merasakan kondisi
ketercukupan, dan karenanya tidak lagi merasa perlu atau gelisah mencari
sesuatu hal lain dari luar. Konsep bermukim dalam ketercukupan inilah
yang terus-menerus dibina oleh tradisi Baduy dari generasi ke generasi,
hingga saat ini. Kegiatan menenun merupakan penjabaran dari konsep
tersebut. Kegiatan memenun terus mereka galakan sebagai bagian dari
upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian yang dapat mereka upayakan
secara mandiri.
Tidak dikembangkannya sistem pemikiran ataupun teknik yang lebih
canggih, bukan karena rendahnya mutu sumber daya manusianya, tetapi
lebih dapat dimengerti dari nilai kesahajaan dan kesederhanaan mereka.
Sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan bijak mereka: sare tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang. Artinya, tidur sekedar pelepas kantuk, makan sekedar pelepas lapar, berpakaian agar tidak telanjang
1. Kekhususan Seni Tenun Baduy
Seni tenun di daerah-daerah lainnya di Nusantara sekilas tampak
memiliki pola-pola hias yang hampir sama. Kendati demikian, kain-kain
tersebut tetap mempunyai ciri, keunikan, dan kekhasannya tersendiri. Hal
ini menjadi bukti bahwa setiap daerah atau kelompok komunitas memiliki
ungkapan keindahannya sendiri yang dipertahankan dan dituangkan kedalam
sehelai kain tenun.
Kekhasan tenun Baduy adalah bahannya yang agak kasar dan warnanya
cenderung dominan. Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan
tradisional telah menghasilkan tekstur yang khas tenun Baduy dengan alat
pemintal tradisional yaitu gedogan/raraga. Kain tenun yang awalnya dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sandang, dibuat sederhana dengan menggunakan motif geometris.
Ragam hias pada tenun Urang Kanekes yang berbentuk geometris
tersebut telah dihasilkan oleh para wanita secara turun-temurun
sehingga tidak ada yang tahu pasti asal usul dari ragam hias tersebut.
Akan tetapi, dalam ragam hias tenunan Indonesia, pengetahuan seni ragam
hias geometris merupakan gambaran dari pengetahuan konsep tentang alam
dan lingkungan hidup.
Konsep ragam hias yang diilhami oleh lingkungan alam menunjukkan
bahwa sudah sejak dahulu alam dan lingkungan dianggap mempunyai peranan
penting dalam kehidupan. Dalam ragam hias tenun Baduy, unsur-unsur tadi
diwujudkan dalam bentuk-bentuk garis geometris seperti garis berbentuk
kait, spiral atau disebut juga pilin, garis lurus, segi tiga, segi
empat, bulatan, dan masih banyak lagi.
Meskipun demikian, di antara teknik penciptaan ragam hias lainnya,
menenun adalah yang paling menonjol karena pembuatannya yang relatif
lebih rumit dan lama dibandingkan kerajinan lain. Bisa dikatakan proses
penciptaan motif dengan menenun sangat sulit karena membutuhkan
kemampuan kreativitas, serta ketekunan dan ketelitian yang tinggi dari
pembuatnya.
Wanita Tangtu (Baduy Dalam) hanya menenun dua warna tenunan
yaitu hitam/biru tua (nila) dan putih polos. Sedangkan jenis dan motif
yang dihasilkan para perajin tenun Baduy dari masa ke masa relatif tidak
mengalami perubahan begitu banyak. Wanita suku Baduy dalam pembuatan
kain tenun, biasanya berfokus pada dua jenis kain tenun, antara lain:
- Sarung/samping, sarung atau samping Baduy sangat sederhana, terutama pada tenunan kain samping aros dan sarung poleng hideung
yang berwarna biru tua atau hitam yang dihiasi motif kotak-kotak tipis
berwarna hitam atau hanya bermotif polos, samping pada umumnya berwarna
dasar hitam dipadu dengan garis-garis kecil warna biru terang. Samping
dapat dijahit dibuat menjadi sarung atau kulot (semacam rok pada wanita).
Kain Sarung/ Samping (aros) Baduy | wacananusantara - Tenunan bodasan/boeh tenunan
polos putih yang biasanya digunakan sebagai bahan untuk membuat baju,
ikat kepala, atau selendang. Ikat kepala selalu dikenakan kaum
laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa.
Kain Bodasan/Boeh | wacananusantara
Selain unsur simbolisnya yang pekat pada seni tenun Baduy, unsur yang
kuat lainnya adalah proses pengerjaannya. Prosesnya memerlukan
ketelitian dan penguasaan teknologi, bahan dan proses. Karena
kerumitannya, untuk mengembangkan motifpun menjadi begitu sulit.
Menenun merupakan runtutan menyusun atau mengatur benang-benang pakan (benang yang ditata dengan arah melebar) dan benang-benang lungsi (benang
yang ditata dengan arah memanjang) yang ditenun sedemikian rupa pada
alat tenun. Sehingga ketika berlangsung penenunan, berlangsung pula
pembentukan ragam hias sebagai akibat paduan warna dari kedua jenis
benang tersebut (Tim Museum Purna Bhakti Pertiwi, 1996: 28).
Pemintalan, pencelupan, dan penenunan merupakan pekerjaan wanita.
Banyak larangan perilaku dan tabu yang dihubungungkan dengan keindahan
tatacara dan aturan menenun di masyarakat adat Baduy. Di antaranya
adalah perempuan Baduy tidak boleh menenun pada saat bulan-bulan yang
dilarang, dan hari saat akan dilaksanakan upacara adat.
Selain itu larangan dan tabu juga menggambarkan hubungan antara norma
keindahan dan fungsi sosial seni. Di antaranya adalah wanita Baduy
Dalam tidak boleh menenun selain warna hitam dan putih. Di seluruh
Indonesia, kita menemukan adanya penekanan yang kuat akan hal-hal yang
diatur secara ketuhanan atau aspek moral estetika. Dan kecenderungannya
adalah, jika terjadi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut maka akan
meniadakan fungsi sosial dari benda itu.
Kegiatan menenun dilakukan pada waktu senggang di siang hari oleh
wanita-wanita Baduy setelah mereka memasak, membenahi rumah, mengurus
anak, mencari kayu bakar, dan pergi ke ladang. Sehingga tidak ada waktu
senggang yang mereka lewatkan, karena mereka gunakan untuk bertenun.
Proses pembuatan kain tenun Baduy dibagi menjadi dua bagian, yaitu
proses persiapan dan proses penenunan. Masyarakakat Baduy menenun dengan
alat tenun yang oleh Urang Kanekes lebih dikenal dengan sebutan pakara atau raraga (seperangkat alat tenun). Sampai
saat ini, kebanyakan para perajin tenun Baduy masih menggunakan alat
tenun tradisional yang terbuat dari konstruksi kayu dan bambu yang
kurang lebih berukuran 2 x 1.5 meter sebagai tempat merentangkan benang
yang akan ditenun dalam proses penenunan seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini.
Keterangan Gambar:
a) Caor/dodogong, sebilah papan yang diletakkan
horizontal, sebagai sandaran punggung penenun. Selain itu berfungsi jug
untuk menarik kain tenunan agar terbentang kencang.
b) Taropong, sepotong bambu (tamiang), tempat memasukkan benang kanteh (pakan).
c) Tali caor, tali yang mengikatkan bilah caor dengan kain yang ditenun di sebelah kiri dan kanan penenun.
d) Suri/Sisir, alat berbentuk sisir, untuk membereskan benang pakan dan benang lusi.
e) Hapit, bilahan papan untuk menggulung kain hasil tenun.
f) Barera, sebilah kayu alat bertenun untuk merapatkan benang pakan agar kain tenun menjadi rapat
g) Jingjingan, bagian dari gedogan, tempat menambatkan lusi.
h) Limbuhan, sebilah kayu yang memanjang seperti mistar berbentuk bulat untuk merenggangkan kedudukan benang tenun
i) Kekedal, patitihan, totojer, bilahan kayu tempat kaki penenun bertelekan
j) Rorogan, sebilah kayu alat penahan berera, terletak sebelah kanan penenun.
k) Totogan, bilahan papan/kayu sebagai alat penahan ketika proses bertenun.
l) Cangcangan, bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun
Selain raraga (seperangkat alat tenun) di atas, terdapat alat
atau perlengkapan lainnya yang biasa digunakan dalam menenun tenun Baduy
di antaranya: dadampar (bilahan papan yang digunakan untuk tempat duduk penenun), Galeger (bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun), Kincir (alat untuk memintal benang kanteh), golebag (tempat untuk memindahkan benang hasil pintalan) pihane (alat untuk membereskan benang kanteh). Seungkeur (sebilah papan/bambu untuk menentukan ukuran lebar kain yang ditenun), tudingan/tutuding (sebilah kayu/bambu untuk alat mengait atau mengambil dan atau membetulkan sesuatu yang letaknya agak jauh dari penenun).
III. Perkembangan Seni Tenun Baduy di Desa Kanekes
Sejarah mencatat bahwa kebudayaan senantiasa berubah dan
berkembang. Perkembangan tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat
dan kebudayaan itu sendiri atau karena perubahan lingkungan alam, dan
atau fisik tempat masyarakat tersebut berada. Haviland (1993: 251),
menganalisa kemampuan berubah dan berkembang dalam kebudayaan tersebut
sebagai salah satu sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Tanpa adanya kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang berubah. Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti
berubah karena bermacam-macam sebab, salah satu sebabnya adalah
perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang
bersifat adaptif (mudah menyesuaikan diri dengan keadaan).
Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia.
Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
yang senantiasa berubah. Akan teteapi, pelestarian budaya lokal juga
mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan
kebudayaan, sejarah dan identitas (Lewis, 1983: 4). Serta sebagai
penumbuh kepedulian masyarakat untuk mendorong munculnya rasa memiliki
masa lalu yang sama di antara anggota komunitas (Smith, 1996: 68).
Soekanto (2005:142-143) mengatakan bahwa suatu masyarakat yang
disebut ‘statis’ (dalam keadaaan diam atau tetap) adalah masyarakat yang
mengalami sedikit sekali perubahan, sedangkan pada masyarakat yang
dinamis (mudah menyesuaikan diri dengan keadaan) merupakan masyarakat
yang mengalami perubahan dengan cepat. Perubahan di masyarakat dapat
berkenaan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola perilaku, organisasi,
struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan
interaksi sosial. Selanjutnya, jika unsur-unsur pembentuk kebudayaan
tersebut berubah, maka akan terjadi perubahan pada persepsi, sikap, dan
perilaku sosial masayarakatnya.
Keterbukaan yang telah mengundang masuknya banyak unsur yang baru
dalam kebiasaan masyarakat, merupakan sebuah proses mencairnya
batas-batas lingkungan kebudayaan yang lama menuju batas-batas
lingkungan kebudayaan yang lebih luas. Dengan kata lain, adalah
berubahnya konsep solidaritas yang lebih sempit menuju ke konsep
solidaritas yang lebih luas. Atau, untuk mengutip rumusan lain, proses
tersebut oleh Kayam (1981:158,159) dinamakan sebagai proses
tawar-menawar nilai-nilai antara pelbagai masyarakat atau lingkungan
kebudayaan.
Masyarakat adat Baduy, meski dikatakan merupakan kelompok masyarakat
tertutup, tidak menutup kemungkinan telah dan akan mengalami perubahan.
Lambat atau cepat perubahan pasti terjadi, perubahan yang dimaksudkan
bisa jadi terlihat di dalam perilaku (tingkah laku) dari anggota
masyarakat sehari-hari maupun secara individual, dalam berkelompok atau
antar kelompok.
Cara seseorang atau sekelompok orang berpikirpun bisa berubah.
Perubahan sering dapat diamati dengan jelas, misalnya dari cara
seseorang berperilaku, berpakaian, atau menampilkan dirinya dari bentuk
atau gaya rumah dan tata ruangan, cara berbicara dan lain-lain. Pada
beberapa poin-point di atas, beberapa peneliti telah mendeskripsikan
perubahan tersebut telah terjadi pada masyarakat adat Baduy.
1. Perkembangan Tenun Baduy dalam kehidupan Masyarakat Kanekes
Masyarakat adat Baduy sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam
sebuah keseimbangan telah memolakan kegiatan komunitasnya berdasarkan
norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sakral dan harus dipatuhi
olah setiap anggota masyakaratnya. Bila terjadi perubahan pada salah
satu bagian, mereka percaya hal itu akan mempengaruhi bagian lain yang
pada akhirnya mempengaruhi sistem keseluruhan. Oleh karenanya, perubahan
budaya pada masyarakat adat Baduy senantiasa dilahirkan dari perubahan
makna dan nilai yang didasarkan atas pemuasan terhadap kebutuhan yang
benar-benar tidak bisa dielakan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti
adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya
Kesultanan banten yang memasukkan Kanekes ke dalam wilayahnya tidak
lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan (pengakuan) kepada
penguasa Kesultanan Banten, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan
seba, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) ke Kesultanan Banten (Garna,1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan
dalam kurun waktu satu tahun sekali kepada Gubernur Banten (sebelumnya
ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Kanekes (khususnya Baduy Luar) kerap berinteraksi
erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan
tenaga buruh.
Peningkatan penduduk di daerah Kanekes juga ikut membawa arus
perkembangan dalam pola kehidupan mereka. Pertumbuhan penduduk Baduy
yang relatif pesat (6-8% per tahun) telah mengakibatkan perkembangan
nilai kehidupan di Suku Baduy. Salah satunya terlihat telah
mengakibatkan tekanan pada sektor mata pencaharian dan perekonomian yang
tidak lagi dapat ditampung oleh sektor pertanian. Di samping adanya
kenyataan bahwa pertambahan jumlah kampung di Desa Kanekes tersebut juga
telah menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan
lahan untuk penyediaan permukiman. Menenun kemudian menjadi salah satu
bagian dari sektor kerajinan yang diangkat guna memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada pola pola kehidupan Urang Kanekes juga berkembang sejalan dengan arus pariwisata yang mulai tumbuh sejak tahun 1992. Dengan menjadikan tanah ulayat
(adat) Baduy yang terkenal akan keindahan ekologinya sebagai obyek
wisata. Orientasi wilayah Baduy sebagai objek wisata pun kemudian
diikuti dengan pembangunan beberapa sarana dan prasarana guna memudahkan
pengunjung datang ke wilayah Baduy. Salah satunya adalah pembangunan
terminal di Ciboleger yang merupakan tempat pemberhentian terakhir
menuju pemukiman Masyarakat Adat Baduy.
Intensitas kunjungan orang luar ke wilayah adat Baduy, maupun seringnya Urang Kanekes
pergi ke luar untuk berdagang (dan atau berkunjung), sedikit banyak
telah terjadi interaksi dengan budaya di luar masyarakat adat Baduy itu
sendiri. Interaksi ini juga didukung dari mudahnya akses dalam
mendapatkan informasi oleh masyarakat adat Baduy. Dengan terbukanya
jalan masuk yang mudah diakses oleh Urang Kanekes maupun masyarakat luar Baduy.
Interaksi yang insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara
kognitif mampu merubah pola hidup penduduk. Berdasarkan data yang
diperoleh, tiap bulannya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi
tanah ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Hal ini lambat laun
membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat adat Baduy.
Sejalan dengan perkembangannya, tenun Baduy yang pada dekade 80-an
masih digunakan sebagai media pertukaran barter, kini telah berkembang
dan masuk dalam sektor-sektor perekonomian penting bagi masyarakat adat
Baduy. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh dan masayarakat
Baduy, tenun pada masa lalu digunakan sebagai alat pembayaran bagi pola
perekomonian mereka. Seorang yang diminta untuk menggarap lahan selain
di bayar menggunakan hasil garapan tersebut (dua hari kerja diganti
dengan tiga ikat padi), bagi mereka yang membutuhkan kain tenun dan
tidak bisa menenun akan dibayar dengan menggunakan kain tenun sebagai
pengganti padi. (wawancara Erwin, 9 April 2011).
Tenun juga menjadi bagian dari sistem pertukaran dengan barang lain
yang mereka butuhkan sehari-hari. Ketika satu hasil kerajinan mereka
ditukar dengan menggunakan tenun, ukuran pembayaran ini ditentukan
dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tenun yang dibuat oleh Masyarakat
Adat Baduy, lambat laun telah melekat menjadi jati diri yang menjadi
ciri khas bagi masyarakatnya. Terutama kini tenun Baduy berfungsi
sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang menunjang penghidupan dan mata
pencaharian mereka.
Sektor ekonomi merupakan perangsang bagi sektor lain. Pada awalnya,
perekonomian masyarakat adat Baduy lebih menggambarkan sistem yang
tertutup, dalam arti aktivitas perekonomian dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan diproduksi serta
dikosumsi di lingkungan mereka sendiri. Pada akhirnya, sektor ekonomi
lah yang merangsang perubahan di sana. Suku Baduy kini telah akrab
dengan sistem jual beli. Perubahan tersebut terjadi karena mereka
dituntut untuk memenuhi kebutuhan ”keseharian” mereka dengan cara
seperti itu.
Banyaknya kebutuhan yang timbul dan terjadinya perubahan karena
perkembangan zaman mengakibatkan perkembangan budaya tidak dapat
dihindari oleh masyarakat adat Baduy Luar. Pola hidup yang sebelumnya
baku dan kaku, mulai tumbuh sikap keterbukaan terhadap pola-pola hidup
modern. Bahkan sebagian dinilai telah mengadopsi gaya-gaya hidup
masyarakat luar walaupun tidak secara draktis.
Meskipun Urang Kanekes telah cukup lama mengenal uang sebagai alat pembayaran berdampingan dengan sistem perekonomian pertukaran, barter. (wawancara Abah, 9 April 2010). Akan tetapi, pola pola pertukaran dengan sistem barter
kadang tetap mereka lakukan antar sesama warga Baduy hingga saat ini.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di
pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti
pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger (wawancara Pulung, 9 April
2010). Hanya sedikit kini dari mereka yang menggunakan model pertukaran,
uang sebagai alat penukarpun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh
masyarakat adat Baduy.
Seni tenun Baduy yang pada awalnya untuk memenuhi kehidupan dan
bagian dari keseharian mereka. Kini, menenun dapat juga dikategorikan
sebagai kegiatan yang menambah dan membantu perekonomian Urang Kanekes berdampingan
dengan kegiatan berladang. Menenun kini mempunyai nilai ekonomi. Nilai
ekonomi inilah yang secara tidak langsung telah mengangkat derajat
perempuan-perempuan Baduy dari sektor domestik ke sektor publik. Tenunan
buatan Urang Kanekes sekarang mulai dijual kepada para pengunjung luar sebagai barang kerajinan khas untuk cenderamata.
Permintaan kain tenun Baduy bahkan terus meningkat karena didorong
oleh banyaknya para pengunjung (turis domestik ataupun asing) yang
datang ke Baduy. Serta ketertarikan masayarakat luar terhadap kain tenun
Baduy ini, telah membuat sebuah perkembangan baru dalam tradisi seni
tenun mereka. Perkembangan ini tampak pada produksi benang sebagai bahan
baku kain tenun. Menenun dengan membuat benang sendiri dinilai memakan
waktu yang lama, sedangkan permintaan kain terus bertambah.
Untuk memangkas durasi produksi, pembuatan dan pewarnaan bahan benang (bodasan)
dan bahan celup yang digunakan untuk mewarnai benang tersebut memasuki
periode tahun 90-an telah dipasok dari luar Baduy (wawancara Erwin, 9
April 2011). Kawasan yang terkenal sebagai pemasok bahan-bahan tersebut
adalah daerah Majalaya, Kabupaten Bandung. Pengrajin tenun Baduy hanya
mencelupnya (bahkan pencelupan pun sebagian sudah tidak dilakukan) dan
menggulungnya sebelum ditenun; pada awalnya bahan benang dan pewarnaan
itu dibuat sendiri oleh Masyarakat Adat Baduy.
Tenun Selendang Putih (bodasan) dengan Variasi Hiasan Tumpul |wacananusantara
Penggarapan seni tenun Baduy pada perkembangannnya kemudian diarahkan
agar bersifat komunal. Pengerjaan tenun Baduy di Desa Kanekes telah
bergerak ke arah produksi skala rumah tangga yang telah memiliki pola
distirbusi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang lebih
luas. Perubahan seperti ini telah lebih dulu hadir pada usaha-usaha
perladangan mereka dengan munculnya pengusaha perkebunan dengan jaringan
yang cukup luas.
2. Perkembangan Ragam dan Jenis Tenunan
Memasuki kurun waktu sepuluh
tahun terakhir ini telah terjadi kerja sama antara perajin tenun Baduy
dengan seniman tenun dari daerah lain. Bahkan hingga desainer akademis
yang mencoba melakukan pendampingan kepada warga Baduy untuk
mengembangkan motif, warna, serta ukuran tenunan.
Tenun Selendang Adu Mancung | tenunikat.com
Walaupun menemui kendala dalam
mengembangkan tenun Baduy, karena tradisi masyarakat adat Baduy yang
sulit menerima perubahan, kreativitas masyarakat adat Baduy dalam
menenun telah berkembang. Hasilnya, tercipta desain-desain baru bagi
penenun Baduy yang memberikan harapan untuk dipasarkan lebih luas lagi.
Kain tenun khas Baduy bahkan oleh beberapa kalangan telah didesain
sebagai bahan baku bagi prodak dan bahan dasar fashion.
Kain tenun yang paling awal dihasilkan oleh Masyarakat Adat Baduy adalah kain tenun dengan warna putih polos yang disebut boeh/kafan yang digunakan untuk baju, ikat kepala (telekung) dan ikat pinggang (sabuk), juga samping berwarna hitam yang disebut aros. Warna putih dalam artefak kain tenun Baduy dipercaya merupakan bahan dasar yang awal diciptakan Masyarakat Adat Baduy.
Wanita suku Baduy dalam pembuatan kain tenun, awalnya berfokus pada dua jenis kain tenun, antara lain: (1) kain sarung atau samping, (2) Kain Boeh/kafan untuk
baju atau ikat kepala dan selendang. Sejalan dengan perkembangannya,
memasuki kurun waktu 1900-2000, Ketaatan wanita Baduy pada aturan adat
rupanya tidak mematikan kreativitas mereka untuk berkreasi. Kreasi
tersebut, hadir pada tenunan selendang mereka.
Tenun Selendang Baduy Suat Songket
Variasi awal yang dikembangkan adalah tenunan selendang polos putih
dengan deretan hiasan tumpal pada kedua ujungnya seperti yang terlihat
pada gambar di atas. Tenunan tersebut dapat dijadikan ikat pinggang oleh
Masyarakat Adat Baduy. Tenunan selendang masyarakat adat Baduy yang
berkesan lebih dinamis kemudian hadir pada tenunan selendang putih
mereka yang dihiasi corak kotak-kotak tipis diselingi benang
warna-warni. Selain itu ada pula bentuk corak geometris merah seperti
yang terlihat pada tenun Adu Mancung.
Kreativitas dan perkembangan tenun Badu tampil pada tenunan selendang yang disebut suat. Tenunan suat
ini hadir dalam beberapa variasi tenunan yang menampakkan perkembangan
motif maupun variasi warna baru. Meskipun demikian, warna benang hitam
atau biru tua tetap sebagai warna-warna yang sering ditonjolkan.
IV. Pungkasan
Seni Tenun Baduy pada masyarakat adat Baduy berkemampuan tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan sandang, tetapi menciptakan identitas keajegan Urang Kanekes
dalam mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka. Di samping itu,
Kegiatan menenun juga menjadi transmisi adat dan istiadat mereka kepada
generasi selanjutnya agar dapat hidup mandiri.
Perkembangan yang terjadi pada seni tenun masyarakat adat Baduy dapat
dinilai merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri.
Ketika masyarakat yang menyangga kebudayaan tersebut selain mencipta,
juga memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, dan
mengembangkan dengan memberi sebuah muatan lain dalam proses menciptakan
kebudayaan baru. Kreativitas kesenian harus dipahami dalam konteks
perkembangan sebuah masyarakat. Kekayaan tradisi dan ciri khas artistik
masyarakat adat baduy luar biasanya justru tetap dijaga dan diupayakan
tetap melekat.
Eksplorasi yang dilakukan terhadap ragam hias tenun Baduy ternyata
tidak bertujuan untuk mengubah tatanan budaya mereka, namun eksplorasi
ini dilakukan untuk menambah macam ragam hias dari tenun Baduy. Bahkan,
Masyarakat Baduy jarang menggunakan sendiri tenunan selendang suat yang mereka buat. Terlebih bagi masyarakat Baduy Dalam yang hanya memakai warna putih atau hitam saja. Tenunan selendang suat
hanya mereka jual khususnya kepada para pengunjung yang datang ke
wilayah Baduy, atau sengaja mereka pasarkan sendiri keluar. Karena
itulah tenunan variasi baru yang hadir pada perkembangan tenun Baduy
tidak mempuyai makna khusus bagi masyarakatnya selain untuk kareseupan (berkesenian).
Sumber Rujukan
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. (1985). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung Proyek Sundanologi, Dep. Pendidikan & Kebudayaan R.I.
Ekadjati, Edi S. (1995). Sunda, Nusantara, dan Indonesia : suatu tinjauan sejarah. Bandung. Dep. Dik Bud Unpad
Garna, Judistira K. (1987). Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
__________ (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia,
Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia
No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk
Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
__________ (1996). Masyarakat Tradisional Banten dan Upaya Pelestarian Nilai-nilai Budaya: Studi Kasus Masyarakat Baduy, dalam Hasan Muarif Ambary (peny.) Masyarakat dan Budaya Banten: Kumpulan Karangan Ruang Lingkup Arkeologi, Sejarah dan Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Haviland, William A. (1993). Antropologi Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Iskandar, Johan (1992) Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Kayam, Umar (1981) Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Kartiwa, Suwati. (2007). Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kurnia, Asep, Ahmad Sihabudin. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Jakarta : Bumi Aksara
Koentjaraningrat. (1985). Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Lewis, M. (1983). Conservation: A Regional Point of View. dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini (eds). Protecting the Past for the Future. Canberra: Austraalian Government Publishing Service.
Rangkuti, Nurhadi (1988). Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata, Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Praseda.
Suardi, Dedi (2000) Ornamen Geometris. Bandung : Rosdakarya
Soekanto, Soerjono (2005). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Garna, Judistira K. (1988). TangtuTeluJaro:Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Permana, C.E. (1996). Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Pascasarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta: Tidak diterbitkan
Prawira, Nanang G. (2009). Mengenal Budaya Rupa Sunda Wiwitan
[online]
Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._SENI_RUPA/196202071987031/NANANG_GANDA_PRAWIRA/MENGENAL_BUDAYA_RUPA_SUNDA_WIWITAN.pdf
[20 Januari 2011]
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak. (1990). Peraturan
Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 Tentang
Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten
Daerah Tingkat II Lebak
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak. (2001). Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor:32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar