Bengkung Ngariung................... Bongkok Ngaronyok...................

Selasa, 05 Mei 2015

KAMPUNG BADUY (Baduy Viilage)

Suku Baduy adalah kelompok kehidupan yang begitu patuh pada adat, ritual dan agama yang mereka anut. Nama masyarakat Baduy sebenarnya adalah URANG KENEKES. Mereka adalah suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di Pegunungan Kendeng Kabupaten Lebak (Jawa Barat). Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu yaitu Sungai Cibaduy.

Mereka adalah keturunan Raja Pajajaran yang menolak agama baru yang masuk dibawa oleh Sunan Gunung Jati di abad 15 dan 16 yaitu agama Islam. Untuk menghindari perang, para punggawa dan senopati Pajajaran yang menolak Sunan Gunung Jati masuk hutan. Mereka memilih daerah perbukitan di kaki gunung Sanggabuana, 1000 mdpl di Banten Selatan. Mereka menolak masuk Islam dan menolak jadi pengikut Sunan Gunung Jati. Di sana mereka terus mengembangkan agama lama mereka di dalam belantara yang sulit diterobos.
Orang Baduy pertama-tama memuja lelembut, yaitu roh halus, roh gaib yang dianggap sebagai nenek moyang pemberi hidup dan mati. Roh itu adalah yang menjiwai segala-galanya. Sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang disebut Batara Tunggal. Tempat kediaman lelembut adalah di dekat mata air sungai Ciujung dan Sungai Cisemet. Tempat keramat tersebut dipuja-puja dan dinamakan Arca Domas. Tempat pemujaan ini hingga sekarang sangat terlarang bagi orang luar.
Masyarakat Kanekes mempunyai objek pemujaan penting yang lokasinya dirahasiakan dan hanya ketua adat tertinggi beserta rombongan terpilihnya yang bisa pergi kesana setiap setahun sekali di bulan kelima. Nama objek pemujaan tersebut adalah Arca Domas. Arca ini memiliki batu lumping yang menjadi petunjuk apakah panen mereka akan berhasil atau gagal.

Orang Baduy hidupnya sangat terisolasi dan jauh dari pergaulan umum. Hanya pada waktu-waktu mendesak dan sangat terpaksa barulah mereka keluar wilayah. Itupun dilakukan dengan sangat segan. Para wanita dan anak-anak tidak diperkenankan oleh adat untuk ke luar daerah Baduy. Pemimpin pemerintahan dan keagamaan disebut Girang Pu’un yang sangat ditakuti. Selain disegani karenaSuku Baduy dibagi dua kelompok, yaitu Urang Kejeroan dan Urang Panamping. Urang Kejeroan adalah Baduy Dalam, mereka yang menempati tanah keramat di daerah Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Sedangkan Urang Panamping adalah Baduy yang menempati di luar tanah keramat yaitu di daerah Ciboleger dan Kaduketer, dan mereka dianggap Baduy yang derajatnya lebih rendah yang disebabkan melanggar aturan-aturan adat.
Peraturan menetapkan, bahwa di tanah keramat itu selalu harus berdiam 40 kepala keluarga. Jika lebih, kelebihannya itu disuruh ke luar, yaitu menjadi warga Baduy Luar. kewibawaan dan kharismanya, tapi juga dihormati karena dianggap sebagai orang sakti madraguna. Girang Pu’un bisa mengobati segala macam penyakit dan mampu menyelesaikan persoalan seberat apapun. Komandonya adalah garis tegas yang tak boleh terbelokkan oleh siapapun. Tapi dia adalah pemimpin yang adil, bijak dan bestari.

PENGARUH LUAR TERHADAP SUKU BADUY
Keunikan suku Baduy yang masih tetap bertahan sampai sekarang adalah ketiadaannya teknologi dan modernisasi dalam hal sekecil apapun. Para penduduknya tidak mengenal pendidikan, benda telekomunikasi, listrik, bahkan alas kaki. Meskipun begitu, para penduduknya tergolong pintar dalam bertahan hidup dan berkreasi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Meskipun anti teknologi, namun ikatan masyarakat Baduy terhadap penduduk luar sangatlah erat dan tetap bersifat kekeluargaan, tidak ada isolasi yang membuat mereka terasing. Hal ini juga yang membuat rutinnya kegiatan Seba di masyarakat Baduy, yaitu kegiatan yang diadakan setahun sekali untuk mengantarkan hasil bumi kepada Gubernur Banten. Orang Baduy juga biasa berkelana ke kota besar di sekitar mereka untuk berjualan dan hanya ditempuh dengan jalan kaki hingga berkilo-kilo meter. Dulu para orang Baduy hanya menggunakan sistem barter dalam memenuhi kebutuhan mereka, namun sekarang beberapa penduduknya telah menggunakan uang rupiah untuk berjualan.
Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng - Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.Masyarakat Baduy yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.

KEGIATAN SEHARI-HARI SUKU BADUY
Warga suku Baduy tidak diperbolehkan menebang pohon secara sembarangan, terutama pohon yang berada pada area hutan lindung karena diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah peruntukannya menjadi ladang atau kebon sayur/buah. Pernyataan jangan merusak hutan sudah sangat dipahami oleh segenap warga Baduy seperti pernah diungkapkan kokolot Baduy, Jaro Dainah: “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak !” Seperti kita ketahui hutan tropis Indonesia banyak yang rusak dan berkurang karena keserakahan kegiatan penjarahan hutan secara liar (illegal logging) dan pembukaan lahan baru misalnya untuk perkebunan sawit dengan cara pintas membakar hutan yang mengakibatkan polusi udara sehingga Indonesia menempati urutan tiga besar penyumbang emisi di dunia dari segi kebakaran dan perusakan habitat hutannya.
Berladang/ bercocok tanam/ bertani merupakan pekerjaan utama suku Baduy. Tidak diperbolehkan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida terutama bagi orang Baduy Dalam yang hanya mengunakan pola tradisional organik dengan dibantu doa serta mantra-mantra. Dengan demikian pola tanam organik bebas kimia seperti ini, kenyataannya terbukti lebih bermanfaat dan menyehatkan dan malah sekarang mulai banyak ditiru oleh ‘orang kota’ yang peduli untuk menjaga kesehatannya.

PIKUKUH SUKU BADUY
Objek yang akan dianalisis dari tulisan ini adalah mengenai “pikukuh” yang berkembang di masyarakat Baduy. “Pikukuh” adalah sebuah tata cara kehidupan masyarakat Baduy dengan konsep tanpa perubahan. Artinya mereka memegang teguh kealamiahan untuk menjaga keseimbangan hidup antara alam dan manusia. Kendati hukum-hukum itu tidak dimunculkan secara tertulis, akan tetapi “pikukuh” tersebut tetap menjadi pedoman bagi masyarakat Baduy. Untuk menjaga “pikukuh” tersebut, maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut “buyut.” (dalam bahasa Indonesia berarti tabu atau larangan).
Delapan klasifikasi “pepatah” yang ada di Baduy dan menjadi buyut yang tak boleh dilanggar. Kedelapan klasifikasi “pepatah” itu adalah taat pada hukum, penegakan hukum, pemeliharaan terhadap alam, pepatah untuk pemimpin, tolong-menolong, hidup/ bekerja, kebersamaan, pepatah pertanggungjawaban. Konsep lisan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat Baduy mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dari “pepatah” tersebut. Kemudian, Kurnia, di dalam mengklasifikasi “pepatah” masih bisa diperdebatkan karena beberapa klasifikasi itu bisa juga bertalian dengan klasifikasi yang lain.

Berikut isi dari buyut tersebut yang berisi empat konsep larangan.
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksak,
lojor teu meunang dipotong,
pendek teu meunang disambung
.
gunung tidak boleh dihancurkan,
lembah tidak boleh dirusak
panjang tidak boleh dipotong
pendek tidak boleh disambung


Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan lebak (lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut kendati terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena jika itu terjadi maka musnahlah segara kehidupan mereka. Dari letak geografis, Baduy berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan. Konsep oposisi biner, secara intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina kita mengenal yin dan yang. Secara alamiah, kita juga menemukan konsep perbedaan untuk menjaga keseimbangan itu di dalam tatanan realitas seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya dan miskin, begitu seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam perbedaan itu tetap harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/ diubah.
lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar